Indonesia memiliki aneka ragam Suku, Agama, Ras dan Budaya. Akan tetapi, selalu ada saja yang membuat keaneka ragaman tersebut menjadi perpecahan. Memang perlu adanya rasa toleransi yang tinggi.
Bagaimana cara menerima satu sama lain, Walaupun berbeda tapi tetap satu jua.
Sempat terpikir apakah ada suatu daerah yang memiliki rasa toleransi yang tinggi sehingga tidak ada perpecahan antar beda agama, suku, ras dan budaya?
Sabtu 6 May 2017, Saya beserta teman Travel blogger lainnya akan berkunjung ke rumah kepala desa yang seringkali dipanggil Ayah. Begitulah panggilan untuk Kepala Desa Banuroja yang bernama I Made Suardana.
****
Saat gapura dengan ukiran arsitektur khas Bali telah terlihat, pertanda kalau kami telah sampai di Desa Banuroja. Sore yang sunyi mata dimanjakan dengan pemandangan Pura yang tepat berada disamping rumah, rasanya seperti sedang jalan-jalan di Bali.
Tak jauh dari Pura sekitar puluhan meter terdapat sebuah pondok pesantren yang bernama Salafiyah Syafi'iyah dilengkapi dengan masjid.
Tepat di seberang jalan, berdiri dua Gereja yaitu Gereja Protestan dan Gereja Pantekosta.
Memang hari semakin gelap tapi masih ada beberapa anak muda yang sedang bermain sepak bola di pekarangan rumah. Kami yang baru saja tiba di persilahkan masuk ke rumah Ayah I Made Suardana.
Pura yang berada di pekarangan rumah ayah |
Desa Banuroja terletak di bagian barat Provinsi Gorontalo, Kecamatan Randangan, Kabupaten Pohuwato yang memiliki penduduk sejumlah kurang lebih 1.300 jiwa.
Penduduk di Desa Banuroja banyak yang menganut agama Islam, Hindu dan Nasrani.
Walaupun Umat Nasrani minoritas di Desa Banuroja, akan tetapi umat nasrani dapat dengan leluasa membangun dua gereja.
Salah satu Gereja di Desa Banuroja |
Memang Desa Banuroja patut di contoh oleh seluruh masyarakat Indonesia karena dengan beragam Suku, Agama, Ras dan Budaya.
Mereka tetap hidup rukun dan saling mendukung satu sama lain.
Nama Desa Banuroja adalah singkatan dari Bali, Nusa Tenggara Barat, Toraja, Gorontalo dan Jawa. Penduduk Desa Banuroja adalah transmigran multi etnis. Namun seiringnya perkembangan muncullah pendatang baru di Desa Banuroja antara lain yaitu Minahasa, Sangihe, Bugis, Batak dan Lombok.
Desa Banuroja dulunya masih menyatu dengan Desa Manunggal Karya pada tahun 1981. Namun pada tahun 2003 Banuroja resmi berpisah dari Manunggal Karya yang memiliki sembilan etnis.
Menurut Ayah I Made Suardana, Desa Banuroja memiliki rasa toleransi yang sangat tinggi. Setiap perayaan hari besar tiap umat, pasti satu sama lain selalu menghadiri perayaan tersebut.
Tradisi tersebut akan terus dijalani oleh warga Desa Benuroja agar tejalinnya hidup rukun antar beragama.
Misalnya saat perayaan hari raya idul fitri, warga Desa Banuroja yang beragama hindu dan nasrani akan berbondong-bondong meramaikan suasana dan menyerahkan aneka macam makanan kepada kaum muslim.
Saat perayaan hari Nyepi pun, Umat muslim tidak memakai pengeras suara saat akan mengumandangkan adzan.
Perayaan Natal pun, warga yang beragama Islam dan hindu akan menyerahkan hasil bumi seperti jagung dan jeruk.
Memang perbedaan tak membuat warga Banuroja terpecah belah, bahkan semakin mempererat tali silaturahmi dalam setiap perayaan.
"KH Abdul Ghofur Nawawi adalah salah satu orang yang dituakan di Desa Banuroja" Tutur Ayah I Made Suardana.
Walaupun begitu, Ayah I Made Suardana tak mempermasalahkan siapa yang dituakan disini. Karena apapun agamanya bisa menjadi pemimpin, Rasa toleransi yang tinggi inilah memang sangat di junjung tinggi oleh warga Desa Banuroja.
Sempat terjadi tragedi bom Bali sehingga membuat perselisihan antar agama Hindu dan islam bersitegang.
Namun KH Abdul Ghofur Nawawi berusaha meyakinkan umat Hindu untuk tetap menjaga toleransi keberagamaan dengan cara merangkul para tokoh agama di Desa Banuroja sehingga tidak terjadinya pertikaian dan perselisihan di Desa Banuroja.
Memang Desa Banuroja selalu menyelesaikan tiap masalahnya dengan cara bermusyawarah sehingga warga memahami kejadian yang terjadi di luar Desa Banuroja.
Sehingga para tokoh agama pun dapat merangkul warga Desa Banuroja dengan memberikan penjelasan apa yang terjadi disana tidak ada sangkut pautnya dengan umat muslim yang ada di Desa Banuroja.
Memang di desa ini selalu mengadakan rapat desa yang diadakan pada malam hari. Karena tiap malam hampir seluruh warga Desa Banuroja dapat menghadiri rapat. Kalau pagi hingga sore, kebanyakan warga Desa Banuroja sedang berkebun. Maka dari itu, malam hari adalah waktu yang tepat untuk diadakannya rapat desa.
Sempat saya bertanya apakah orang luar dapat singgah di Desa Banuroja dalam waktu beberapa hari?
Ternyata orang luar dapat singgah disana dengan fasilitas yang seadanya karena tidak ada penginapan dan hanya rumah warga lah yang tersedia atau mungkin rumah ayah I Made Suardana pun bisa di singgahi.
Untuk info lebih lanjut bisa hubungi nomor handphone Ayah I Made Suardana di 0853 4039 2011.
#Pohuwatogoesdigital
Cheers,
Dian Juarsa
16 May 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yuk ah komen daripada cuma sebarin Spam